
Bupati Mempawah Tegaskan Bahaya Perdagangan Manusia dan TKI Ilegal, Ajak Masyarakat Melek Informasi dan Jalur Resmi
Mempawah, MC - Bupati
Mempawah, Erlina, menghadiri kegiatan Deklarasi Komitmen Bersama Pencegahan dan
Pemberantasan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Nonprosedural serta
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang digelar di Graha Khatulistiwa,
Mapolda Kalimantan Barat, Jumat (20/6/2025).
Kegiatan yang diinisiasi oleh Kementerian
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ini turut dihadiri oleh para kepala
daerah se-Kalimantan Barat, unsur Forkopimda, serta perwakilan instansi
terkait, sebagai bentuk sinergi lintas sektor dalam menangani maraknya
pengiriman pekerja migran ilegal dan kasus perdagangan orang di wilayah
perbatasan.
Dalam pernyataannya, Bupati Erlina menekankan
pentingnya perlindungan terhadap masyarakat, terutama perempuan dan anak muda,
dari bujuk rayu sindikat perdagangan orang. Menurutnya, masyarakat perlu
dibekali pemahaman tentang migrasi aman dan prosedural agar tidak terjerumus
menjadi korban eksploitasi.
“Saya selalu mengingatkan, terutama kepada
generasi muda dan para perempuan, bahwa menjadi TKW atau TKI harus melalui
prosedur resmi dan aman. Jangan percaya iming-iming gaji besar dari calo.
Sekali salah langkah, bisa terjebak dalam situasi yang sangat membahauakan,”
ungkap Erlina.
Erlina juga mengungkapkan bahwa di Kabupaten
Mempawah sendiri, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kasus TKI bermasalah
di luar negeri. Mereka sempat mengalami kesulitan hukum dan perlakuan tidak
manusiawi karena berangkat tanpa dokumen resmi. Beruntung, para korban akhirnya
berhasil diselamatkan oleh aparat berwajib melalui kerja sama lintas negara.
“Ini bukan isu yang jauh dari kita. Di Mempawah
juga pernah ada warga yang berangkat secara ilegal dan kemudian mengalami
masalah di luar negeri. Alhamdulillah, mereka berhasil diselamatkan meski.
Karena itu, edukasi harus terus dilakukan agar masyarakat paham bahwa
keselamatan dan martabat tidak bisa ditukar dengan jalan pintas,” ujar Bupati.
Erlina
menambahkan, tantangan Kalimantan Barat sebagai daerah perbatasan menjadikan
isu perdagangan manusia semakin kompleks. Jalur-jalur tidak resmi atau yang
dikenal sebagai "jalur tikus" menjadi celah rawan yang dimanfaatkan
sindikat untuk mengirim PMI ilegal ke luar negeri.
“Masyarakat perlu tahu bahwa negara hadir untuk
melindungi. Tapi perlindungan itu tidak bisa bekerja sendirian. Harus ada
kesadaran dari warga untuk memilih jalur legal. Karena yang kita pertaruhkan
bukan hanya pekerjaan, tapi masa depan, martabat, bahkan nyawa,” tegasnya.
Erlina juga mendukung langkah pemerintah pusat dan
Kementerian P2MI dalam membangun shelter pekerja migran di wilayah perbatasan
serta memperkuat sosialisasi di tingkat desa. Baginya, satu nyawa yang
terselamatkan dari jerat TPPO adalah satu harapan yang diselamatkan untuk masa
depan bangsa.
“Kami ingin masyarakat Kalbar termasuk Mempawah
boleh sukses di luar negeri, tapi harus lewat jalur yang benar. Jangan gadaikan
keselamatan dan membuat keluarga khawatir hanya karena tergoda jalan pintas.
Saya percaya, dengan informasi yang benar dan pendampingan yang tepat,
masyarakat kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan,” tutupnya.
Sebelumnya, Menteri Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia, Abdul Kadir Karding, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kolaborasi
semua pihak menjadi kunci dalam menekan angka pengiriman PMI nonprosedural
serta TPPO yang masih marak terjadi, khususnya di daerah perbatasan seperti
Kalimantan Barat.
"Setelah delapan bulan berdiri sebagai
kementerian baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kami
menyimpulkan bahwa akar permasalahan utama dari kekerasan yang dialami para
pekerja migran adalah keberangkatan yang tidak sesuai prosedur," ungkapnya.
Ia menyebutkan, dari total sekitar 10 juta PMI
yang tersebar di lebih dari 100 negara, separuhnya berangkat secara ilegal. Di
Kalimantan Barat sendiri, perbandingan keberangkatan PMI prosedural dan
nonprosedural tercatat 1:3, menunjukkan masih tingginya penggunaan jalur
ilegal, termasuk “jalur tikus” di kawasan perbatasan.
Abdul Kadir
Karding menambahkan, sekitar 97 persen PMI yang menjadi korban eksploitasi dan
ketidakadilan merupakan mereka yang berangkat tanpa prosedur yang sah, dan
umumnya tidak memiliki keterampilan yang memadai. Oleh karena itu, menurutnya,
gerakan bersama ini diharapkan mampu mengurangi angka TPPO melalui edukasi,
penguatan tata kelola migrasi, serta fasilitasi dokumen resmi bagi calon PMI.
"Kita harus meyakinkan masyarakat agar
mengikuti prosedur resmi jika ingin bekerja di luar negeri. Banyak godaan yang
menjanjikan kemudahan, tapi justru membahayakan mereka di negara tujuan,"
lanjutnya.
Ia juga menegaskan pentingnya sosialisasi secara
masif di tingkat daerah untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya menjadi PMI
ilegal, serta memastikan perlindungan menyeluruh bagi warga negara Indonesia di
luar negeri.
"Kementerian akan terus mendorong kolaborasi
dengan seluruh pihak guna mengurangi angka TPPO dan keberangkatan PMI
nonprosedural, terutama melalui perbatasan," tutupnya.